CAKRAWALAJAMPANG – Rabu pagi (29/10/2025), suasana sunyi menyelimuti sebuah desa kecil di pedalaman Sukabumi. Awan kelabu bergelayut rendah, seakan turut berduka atas kepergian seorang gadis belia yang memilih jalan sunyi di usia yang seharusnya masih penuh warna.
Di sebuah kamar sederhana, petugas kepolisian menemukan buku tulis bergaris — di dalamnya terselip dua lembar surat dengan tulisan tangan rapi. Tidak ada tanda kemarahan, hanya barisan kalimat yang dipenuhi rasa lelah dan keinginan untuk dimengerti.
“Eneng geus cape. Eneng teu kuat deui, eneng ngan hayang tenang,”
Baca Juga: Saddil Ramdani Minta Maaf atas Reaksi Emosional Saat Digantikan Kontra Persis Solotulisnya pelan, dengan campuran bahasa Sunda dan Indonesia.
Surat itu seperti potongan hati yang dirobek perlahan. Dalam curahan hatinya, siswi SMP tersebut mengisahkan tentang luka akibat ejekan teman-temannya di sekolah. Tentang rasa tidak berdaya ketika kata-kata berubah menjadi senjata. Ia sempat menulis keinginannya untuk pindah sekolah berharap bisa memulai ulang segalanya tapi harapan itu berhenti di atas kertas.
Pada lembar terakhir, ia meminta maaf kepada semua orang yang disayanginya. “Maaf ya Mamah, Bapak… Eneng sayang pisan. I love you. Segitu wae, babay.”
Baca Juga: Dinsos Dorong Karang Taruna Desa se-Kecamatan Surade Jadi Garda Terdepan Kepedulian SosialTulisan itu berhenti mendadak, seolah tangannya kehilangan tenaga sebelum sempat menutup kisahnya.
IPTU Dede, Kapolsek setempat, membenarkan bahwa surat tersebut kini menjadi bagian dari barang bukti penyelidikan dugaan perundungan di lingkungan sekolah korban. “Betul, kami temukan surat tulisan tangan. Saat ini masih diperiksa oleh penyidik,” ujarnya singkat.
Beberapa jam setelah ditemukan, jenazah korban dimakamkan di pemakaman desa. Tangis keluarga pecah, menyelimuti tanah yang baru digali. Buku tulis itu kini menjadi satu-satunya peninggalan jejak terakhir seorang anak yang diam-diam menjerit minta tolong.
Baca Juga: Dari Jampang untuk Sukabumi: Yudha Sukmagara Ajak Warga Bersatu Bangun DaerahBagi sebagian orang, dua lembar surat itu hanyalah tulisan biasa. Tapi bagi keluarga, itu adalah pesan terakhir dari seorang anak yang terlalu lama menanggung luka dalam diam. Ia tidak membalas dengan amarah, hanya dengan kata-kata yang kini membuat dunia sekitarnya terdiam.
Tragedi ini menyisakan pesan yang menggema: bahwa kata-kata bisa menjadi pelukan, tapi juga bisa menjadi luka yang membunuh perlahan. Anak-anak tak hanya butuh diajari, mereka butuh didengar sebelum semuanya terlambat.












