CAKRAWALAJAMPANG – Beluk, salah satu bentuk seni vokal tradisional khas Sunda, kini berada di ambang kepunahan. Seni yang dahulu menggema di pelosok-pelosok Tatar Sunda ini perlahan kehilangan gaungnya. Suara lantang penuh getar dan teknik vokal melengking yang menjadi ciri khas beluk, kini semakin jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
Seni beluk sejatinya merupakan warisan budaya lisan yang sarat makna. Dahulu, beluk tidak sekadar hiburan, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Sunda. Ia kerap dilantunkan pada berbagai upacara adat, kegiatan pertanian, dan ritual keagamaan tradisional. Melalui lantunan vokalnya yang khas, beluk menjadi media komunikasi antara manusia dengan alam, bahkan dengan Sang Pencipta.
Baca Juga: Pelajar SMA di Sukabumi Dilaporkan Hilang, Keluarga Curiga Ada Pihak Lain TerlibatNamun, seiring berjalannya waktu, perubahan zaman membawa dampak besar terhadap eksistensi seni ini. Modernisasi dan dominasi budaya populer menyebabkan beluk semakin tersingkir. Generasi muda, yang seharusnya menjadi pewaris budaya, tampak kurang tertarik untuk mempelajari seni ini. Mereka lebih akrab dengan musik modern dan hiburan digital yang serba cepat dan praktis.
Rendahnya minat dan kemampuan generasi muda dalam melestarikan beluk menjadi tantangan serius. Tak hanya itu, minimnya perhatian pemerintah dan lembaga kebudayaan juga memperparah keadaan. Dukungan untuk pelatihan, dokumentasi, serta regenerasi pelaku seni tradisional seperti beluk masih sangat terbatas.
Perubahan fungsi beluk pun tak terhindarkan. Jika dahulu beluk berperan penting dalam ritual adat dan keagamaan, kini ia lebih sering ditampilkan sebagai hiburan semata. Beberapa seniman mencoba mengadaptasinya dengan menggabungkan beluk bersama alat musik modern, agar dapat diterima oleh masyarakat masa kini. Meski demikian, esensi spiritual dan nilai filosofis yang terkandung dalam beluk tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta seni tradisi.
Menyelamatkan Warisan, Menghidupkan Kembali Beluk
Untuk menghidupkan kembali pesona beluk di Tatar Sunda, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah daerah, lembaga kebudayaan, akademisi, seniman, dan masyarakat umum perlu duduk bersama merumuskan strategi pelestarian yang konkret. Edukasi budaya di sekolah, pelatihan bagi generasi muda, hingga festival seni tradisi bisa menjadi langkah awal untuk menanamkan kembali kecintaan terhadap warisan leluhur ini.
Pendekatan pemberdayaan lokal juga sangat penting. Melalui kegiatan komunitas, sanggar seni, atau acara budaya desa, masyarakat dapat kembali mengenal beluk sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan mereka. Selain itu, dokumentasi digital dan promosi melalui media sosial juga dapat menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan beluk kepada publik yang lebih luas, terutama generasi muda yang hidup di era digital.
Seni beluk memiliki nilai estetika dan filosofi yang tinggi. Dalam setiap lantunan suaranya, terkandung harmoni, kesabaran, dan keikhlasan yang mencerminkan kepribadian masyarakat Sunda. Beluk bukan hanya sekadar nyanyian, melainkan cerminan dari hubungan manusia dengan alam semesta dan spiritualitas yang mendalam. Oleh karena itu, seni ini tidak boleh dibiarkan lenyap begitu saja.
Beluk di Pajampangan: Jejak yang Mulai Pudar
Di wilayah Pajampangan, Kabupaten Sukabumi, jejak kejayaan seni beluk mulai memudar sejak era 1980-an. Padahal, pada dekade 1970-an, beluk pernah mencapai masa keemasan. Saat itu, beluk menjadi kesenian populer yang kerap hadir di berbagai acara keluarga, terutama di kalangan masyarakat yang berada. Setiap hajatan, syukuran, nadar, hingga khitanan anak selalu dimeriahkan dengan lantunan beluk yang menggema hingga larut malam.
Baca Juga: Indonesia dan Serbia Jalin Kerja Sama Budaya Lewat Film dan SeniNama Kanta, seorang maestro beluk asal Kecamatan Surade, sempat begitu melegenda di masa itu. Ia dikenal karena kemampuannya yang luar biasa dalam melantunkan nada-nada tinggi dan bergetar khas beluk Sunda. Suaranya mampu menghipnotis pendengar dan menghadirkan suasana magis di setiap pementasan. Hampir setiap kali ada acara besar di kampung, warga selalu memanggil Mang Kanta untuk tampil.
Namun kini, sosok seperti Mang Kanta tinggal kenangan. Ia telah berpulang ke pangkuan Ilahi, meninggalkan warisan seni yang kian redup di tengah masyarakat. Setelah kepergiannya, hampir tak ada lagi penerus yang mampu melanjutkan tradisi beluk dengan kualitas yang sama.
Menjaga Suara Tradisi Tetap Menggema
Beluk adalah suara sejarah dan napas budaya masyarakat Sunda. Jika dibiarkan punah, maka hilanglah sebagian identitas kultural yang menjadi kebanggaan daerah ini. Oleh sebab itu, upaya pelestarian beluk bukan hanya soal menjaga sebuah bentuk seni, melainkan juga menjaga jati diri bangsa.
Melalui sinergi berbagai pihak dan kesadaran kolektif masyarakat, seni beluk dapat kembali menemukan tempatnya di hati publik. Ia bisa hidup berdampingan dengan budaya modern tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan langkah nyata, semangat gotong royong, dan kecintaan terhadap tradisi, kita dapat memastikan bahwa suara indah beluk akan terus mengalun—menyapa generasi masa depan dengan pesan kearifan dari masa silam.